“HADITS MEMULIAKAN
TAMU”
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Hadist
Dosen Pengampu :
Disusun oleh:
NURVIYATI
(111111010)
BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Dalam
Rangka berinteraksi social dan bersilaturrahmi, setiap orang akan saling
mengunjungi, bertamu, dan menerima tamu. Bahkan, Allah Swt. Akanmenjadikan
orang yang memuliakan tamu sebagai orang yang beruntung. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Hasyr ayat 9 yang artinya : “ Dan mereka tidak menaruhkeinginan dalam hati mereka terhadap apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas
dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan . dan siapa yang dijaga
dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Memuliakan tamu
adalah kewajiban semua muslim bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan
para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu
tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari
akhlaq yang terpuji.Lalu bagaimanakah kita harus menyambut tamu seperti yang di
ajarkan oleh nabi kita muhammad SAW.
Sudah dijelaskan
di atas bahwa memuliakan tamu adalah kewajiban bagi kaum muslim, namun kenyataannya
banyak orang islam tidak menghormati tamu yang datang ke rumahnya, faktor egois
atau yang lainnya mempengaruhi. Padahal Nabi sendiri tidak mengajarkan itu,
malah nabi mengajarkan kita untuk menghormati dan memuliakan tamu yang
berkunjung kepada kita karena itu adalah hal yang dapat mempererat persatuan
ummat. Oleh karena itu mari kita belajar dari nabi untuk memuliakan tamu.
Memuliakan
tamu, di antaranya dapat dilakukan dengan memberikan senyuman dan sambutan yang
ramah serta menyenangkan. Bahkan, jika tuan rumah memiliki Rezeki, tamu dijamu
dengan baik. Selain itu, jika tamu dating dari jauh, tawarkan untuk menginap di
rumah. Perlakukan tamu dengan sopan, meskipun tamu tersebut tidak membuat
perjanjian terlebih dahulu atau datang secara mendadak (Bachrul, Ilmy,2008
:104).Dalam makalah ini, akan membahas hadist memuliakan tamu serta adab
memuliakan tamu.
II.
HADIST
MEMULIAKAN TAMU
III.
ASBABUL
WURUD
Ketika Allah melihat salah satu bentuk, dimana Allah
Swt memperlihatkan kepada hamba-hamba Nya bahwa Allah melihat semua perbuatan
yang terkecil sekalipun. Maka disaat itu datanglah tamu kepada Sang Nabi saw
dan Sang Nabi saw tidak bisa menjamunya karena tidak ada makanan. Rasul tanya
pada istrinya“punya makanan apa kita untuk menjamu tamu ini?”, istri
Nabi saw menjawab “tidak ada, yang ada cuma air”.Maka Rasul berkata “siapa
yang mau menjamu tamuku ini?” Satu orang anshar langsung mengacungkan
tangan “aku yang menjamu tamumu ya Rasulullah”. Kemudian sahabat itu
membawa tamu rasul itu ke rumahnya, sampai dirumah mengetuk pintu dengan
keras hingga istrinya bangun. “Kenapa suamiku? kau tampak terburu-buru”.
“akrimiy dhaifa Rasulillah,kita dapat kemuliaan tamunya Rasulullah. Ayoo.. muliakan, keluarkan semua yang
kita miliki daripada pangan dan makanan, semua keluarkan. Ini tamu Rasulullah
bukan tamu kita, datang kepada Rasul, Rasul saw tidak bisa menyambutnya. Rasul
tanya “siapa yang bisa menyambutnya?”, aku buru - buru tunjuk tangan,
ini kemuliaan besar bagi kita.” Istrinya berkata “suamiku, makanannya
hanya untuk 1 orang. Tidak ada makanan lagi, itu pun untuk anak- anak kita. 2
orang anak- anak kita hanya akan makan makanan untuk 1 orang, kau ini bagaimana
menyanggupi undangan tamu Rasul? kau tidak bertanya lebih dulu? apakah kita
punya kambing, punya ayam, punya beras, punya roti, jangan main terima
sembarangan!” Maka suaminya sudah terlanjur menyanggupi “sudah kalau
begitu anak kita tidurkan cepat- cepat, matikan lampu agar anaknya tidur”.
“belum makan, suruh tidur jangan suruh makan malam, biar saja”.
Di tidurkan anaknya tanpa makan. Lalu tinggal makanan yang 1
piring untuk 1 orang, “ini bagaimana? tamunya tidak mau makan kalau hanya
ditaruh 1 piring kalau shohibul bait (tuan rumah) tidak ikut makan karena cuma
1 piring makanannya”. Suaminya berkata “nanti sebelum kau keluarkan
piringnya, lampu ini kau betulkan lalu saat makan tiup agar mati pelitanya,
jadi pura- pura lampu mati. Taruh piring, silahkan makan dan kita taruh piring
kosong di depan kita, tamu makan kita tidak usah makan tapi seakan “ akan makan
dan tidak kelihatan lampunya gelap”.
Maka tamunya tidak tahu cerita lampunya mati, pelitanya rusak,
tamunya makan dengan tenangnya, nyenyak dalam tidurnya, pagi-pagi shalat subuh
kembali kepada Rasul saw “Alhamdulillah ya Rasulullah aku dijamu dengan makanan
dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah semalam sangat ridho
kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu” (shahih Bukhari).
Allah tersenyum, bukan Allah itu seperti manusia bisa tersenyum
tapi maksudnya Allah sangat sayang dan sangat gembira. Dengan perbuatan itu
Allah sangat terharu, bukan terharu karena tamunya saja tapi juga karena shohibul
bait berucap. “akrimiy dhaifa Rasulillah” muliakan tamu Rasulullah.
Ini yang membuat Allah terharu, untuk tamunya Rasulullah rela anaknya tidak
makan, tidur semalaman dalam keadaan lapar untuk memuliakan tamunya Rasulullah
saw. (www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k)
IV.
ARTI
HADIST MEMULIAKAN TAMU
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, maka janganlah ia menyakiti tetangganya, dan
barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia muliakan
tamunya, dan barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia
berkata baik atau hendaklah ia diam”. (Imam
Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, 1993:119).
V.
SUBTANSI
HADIST
Mengenai hadist ini, jika ditinjau dari
kualitas hadist, sudah tentu bisa dikatakan hadist shohih, karena diriwayatkan
oleh imam Bukhori dan imam muslim. Mengapa dapat kami katakan demikian? Karena
dikalangan ummat islam sudah sangat familiar dikenal bahwa hadist yang masuk
dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam bukhori dan imam muslim adalah hadist
shohih, karena telah melalui proses penyaringan yang sangat ketat.
Pada hadist yang diriwayatkan oleh imam
turmudzi, bisa dikatakan bahwa hadist ini shohih, ditinjau dari segi
bahwa ia adalah perawi pada masa ulama hadist mutaqodimin, yakni setara dengan
perawi hadist yang terkenal seperti imam bukhori dan muslim, juga yang lainnya.
Selain itu juga ia pernah berguru pada imam tersebut (Ahmad
najieh : 107).
Atau bisa juga disebut hadist hasan, karena
pada riwayat lain dikatakan bahwa pada pasal hadist hasan, Disebutkan bahwa
sunan al-tirmidzi adalah induknya hadist hasan (akhmad
sutarmadi,1998:61).
Kalimat “barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang
siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu)
menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka
hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah
dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan
pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan-Nya. Yang
terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota
badan nya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua
anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
وَلَا تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿36﴾
“Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. ((QS. Al
Isra’ : 36)
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber
pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian
ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin
berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh
karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan
diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini
maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan
untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan
seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan
tetangganya…………maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya
hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi
perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah
telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga,
sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta
tetangganya”.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung
hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang
tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang
lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya
walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya
dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah
ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. (http// syarah hadist arba’in
an-nawawihadits ke-15 berkata baik atau lebih baik diam, serta memuliakan tamu).
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” ,
menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam
itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian
itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan
kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” di dahulukan dari perkataan “diam”.
Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya
dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar
berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada
orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan
yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan
pemberiannya.
VI. Kontekstualisasi dengan masa sekarang
Zaman sekarang,
banyak terjadi penggeseran tempat dan makna dalam kandungan hadist. Tidak semua
orang dapat melakukanya ajaran-ajaran yang telah dilakykan Nabi Muhammad Saw. Berikut ini adalah adab-adab yang
berkaitan dengan tamu dan bertamu.Dalam hadist di atas membagi pembahasan dalam dua bagian, yaitu adab bagi
tuan rumah dan adab bagi tamu.
Adab Bagi Tuan Rumah
1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang
orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam
dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah
engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak
mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا
الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek
makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak
mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4.
Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala
utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا
وَلاَ نَدَامَى
“Selamat
datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
5.
Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja.
Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang
terbaik.
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk
bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena
betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7.
Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan
kepada sesama muslim.
8.
Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini
dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib (‘abdul ‘aziz, Nada bin Fathi as-sayyid. 2007: 151).
9.
Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا
فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang
siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati
yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.”(HR Bukhari dalam kitab Adabul
Mufrad).Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.
10. Jangan
mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11. Di
antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka
berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum
mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka
datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12.
Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut
kepadanya
13.
Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan
penghormatan bagi mereka.
14.
Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya
dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah
yang ceria dan berseri-seri.
15. Adapun
masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ
وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى
يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu
tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi
seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para
sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan
ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16.
Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah(‘abdul ‘aziz, Nada bin Fathi as-sayyid. 2007: 152).
Adab
Bagi Tamu
1. Bagi
seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur,
seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa
yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
2.
Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun
orang yang miskin.
3.
Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim.
Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya,
karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
4. Masuk
dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan
hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka
5. Apabila
kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena
menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak
menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا
فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika
salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa,
doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
6. Seorang
tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah
tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.
7.
Termasuk adab
bertamu adalah
tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
8.
Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan
rumah,
9. Sebagai
tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat
mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara
kalian!Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10. Jika
seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin
kepada tuan rumah dahulu,
11.
Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah
selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa :
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya
Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku
dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ
فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya
Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki
mereka.” (HR.
Muslim)
12.
Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada,
memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan
rumah(‘abdul ‘aziz, Nada bin Fathi as-sayyid. 2007: 153).
VII. KESIMPULAN
Dalam
kesimpulan, kami mencoba menarik sebuah analisa bahwa memuliakan tamu adalah
hal yang dianjurkan oleh setiap muslim, ini dapat kita tarik dari asbabul wurud hadist yang telah kami
ceritakan, walaupun kita tidak mempunyai apa-apa, namun kita harus tetap
memuliakan tamu yang hadir di rumah kita.
Selain itu juga, sandaran kita untuk
memuliakan tamu sudah di tentukan pada hadist dan juga al-Quran, dimana kita
harus mengikuti itu sebagai pedoman bagi setiap muslim.
VIII. PENUTUP
Demikian makalah
ini kami buat, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.Semoga
bermanfaat. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
‘abdul
‘aziz, Nada bin Fathi
as-sayyid. 2007. Ensiklopedi Adab Islam menurut al-qur’an dan as-sunnah, Jakarta:
pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Abdullah, Imam,Muhammad, bin
Ismail Al Bukhari. 1993. Tarjamah Shahih
Bukhari, Semarang :CV. Asy-syifa'
Ahmad
najieh. 323 hadist dan syair
untuk bekal dakwah.jakarta: pustaka amani.
Ilmy,Bachrul.2008. Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT
Multi Printindo Persada.
sutarmadi, Akhmad dan Al Imam Al-Tiridzi,1998.
Peranannya Dalam Pengembangan Hadist Dan Fiqh. jakarta:
logos.
(http// syarah hadist arba’in an-nawawi
hadits ke-15 berkata baik atau lebih baik diam, serta memuliakan tamu diunduh pada
kamis, 2 mei 2013 pkl. 19.55 Wib)
0 komentar:
Posting Komentar